BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 08 Desember 2011

KISAH HIDUP SI PEMULUNG

Pagi yang indah dikala aku membuka mata, kuhirup udara sejuk ini. Begitu tenang jiwa ragaku ingin sekali suasana pagi terus seperti ini, tetapi semua yang ku bayangkan tidak akan menjadi nyata. Aku hanya seorang anak pemulung yang tinggal di kolong jembatan. Hanya berbekal kardus dan tas yang lusuh  untuk aku pakai sebagai alas tidur.  Aku tinggal bersama ibu, adik kecilku dan orang-orang yang berstatus sama seperti aku. Ya, sekitar lima belas orang yang tinggal ditempat kumuh ini. Mereka hanya berbekal seadanya sama seperti aku.
Aku berumur 17 tahun dan adikku 5 tahun. Sudah lama aku dan mereka terbuang di tempat ini, sangat mudah untuk disingkirkan. Ditengah ketidakadilan dalam hidup, bertahan menerima keadaan dan berjuang untuk hidup. Aku dan mereka bukan pemalas yang ingin mendapatkan belas kasih dari orang-orang. Tetapi aku hidup seperti ini adalah cobaan yang sudah di takdirkan oleh Yang Maha Kuasa. Aku hanya menerima dengan ikhlas, walaupun hati ini kadang ingin memberontak. Kenapa aku tidak bisa seperti orang yang layak untuk hidup didunia ini. kadang hati ini ingin marah kepada sang pencipta, tetapi ibu selalu memberikan nasehat yang bijaksana kepadaku.
“ Nak janganlah kamu sesali hidup seperti ini, kita harus mensyukuri segala nikmat yang sudah diberikan oleh Yang Maha Kuasa”. Kata-kata itu selalu aku ingat, dan hanya ibu yang dapat mencairkan suasana hatiku menjadi tenang.
Kehidupan ini sudah lama aku jalani, tidak ada perubahan sama sekali. Tetap saja yang aku kerjakan setiap harinya memungut sampah-sampah yang dapat aku jual kembali ke lapak barang bekas. Dengan berbekal tas keranjang dan sarung tangan. Aku bukan pengemis yang selalu meminta-minta kepada orang-orang yang lewat dihadapanku. Mereka selalu memandang diriku sebelah mata, yang mereka tahu aku hanya orang yang tak pantas berada dekat mereka. terkadang aku sangat sedih dengan kehidupan ini, aku lelah dan letih. Tetapi aku harus tegar menjalani kehidupan yang keras ini.
Saat aku berjalan mengambil sebotol aqua yang berada di tempat sampah depan sekolah, aku terdiam. Melihat anak-anak sekolah, aku ingin seperti mereka yang bisa bersekolah. Aku sama sekali tidak pernah merasakan bangku sekolah. Membaca dan meulis pun aku tidak bisa, karena keadaan lah yang membuatku seperti ini. Aku sadar, aku dilahirkan dari keluarga yang tak mampu. Tempat tinggalku saja bukan rumah, hanya kardus saja sebagai alas tidurku. Aku sangat iri kepada mereka, mereka bisa hidup dengan bahagia. Tapi aku sejak kecil sudah diajarkan untuk mencari uang dan menerima kenyataan hidup. Sebentar saja aku diam melihat kedalam sekolah itu, tiba-tiba orang berpakaian putih yang memakai topi mengenakan celana panjang menghampiriku. Ya, bisa dibilang ia satpam sekolahan itu. Dan ia berkata “ Hey, kamu pergi sana !”. ia mengusirku dengan nada suara yang kasar, seakan-akan aku sangat hina dan tak pantas untuk masuk kedalam. Mungkin karena pakaian yang aku kenakan compang camping dan sangat kotor. Lalu aku pun pergi, tetapi mata ini masih tertuju kedalam sekolah itu.
Ketika aku kembali pulang, aku hanya diam dan meletakan tas keranjangku disamping tumpukan sampah yang sudah didapati ibu. Tiba-tiba ibu bertanya kepadaku.
“kamu kenapa nak ? ko terlihat lemas”. tanya ibu sambil merapikan botol-botol bekas.
“Aku tidak apa-apa bu”. Jawabku dengan nada rendah.
“Ya sudah kalau begitu tolong jaga adikmu, ibu mau menjual barang bekas ini ke lapak”. Kata Ibu dengan nada lemah lembut.
“iya bu”. Jawabku sambil menghampiri adikku.
Saat ibu pergi aku pun bercanda tawa dengan adikku, satu hal yang membuatku sangat sedih. Ketika adikku bertnya kepadaku :
 “Kak, kenapa kita tinggalnya disini ? Kenapa kita tidak punya rumah seperti itu. Aku ingin tinggal dirumah, terus punya banyak mainan juga”. kata-kata itu membuat aku meneteskan air mata, aku hanya bisa diam dan memeluk adikku.
Tak lama ibu sudah pulang dan melihat aku meneteskan air mata. Ibu kembali bertanya kepadaku, tapi aku hanya diam. Saat itu adikku yang menjawab, ia bilang kepada ibu. “Kakak menangis saat aku bertanya kenapa kita tidak punya rumah? Aku ingin memiliki rumah dan mainan yang banyak bu, tapi kakak tidak menjawab pertanyaan aku”. Mendengar perkataan adikku ibu tersenyum kecil, senyuman itu memiliki makna yang dalam. Ibu selalu mengeluarkan kata-kata yang bijaksana. Ibu bilang kepada adikku, suatu saat nanti pasti kita akan memiliki rumah nak. Jika Allah sudah mengizinkan kita untuk pindah dari tempat ini.

0 komentar: